Pemimpin Berpirinsip (?)


Jangan dulu dianggap postingan gue kali ini sebagai sesuatu yang membosankan untuk dibaca. Khususnya buat lu yang merasa laki-laki yang kebetulan sampai di blog gue. Bukan maksudnya untuk makin menonjolkan peran laki-laki sebagai pemimpin, tapi gue Cuma pengen tukar pendapat soal prinsip seorang pemimpin. I promise you, after reading this post you will thinking about something :)

Seingat gue, selama gue masuk kedalam lingkaran sosial masyarakat dari mulai masuk sekolah dasar, sekolah menengah,  sampai kuliah maupun aktivitas diluar organisasi resmi pun gue anehnya pasti nggak jauh-jauh dari sebutan 'ketua'. Gue sih nganggepnya aneh. Karena gara-gara ini, sebagian temen-temen gue  menganggap memang ada orang-orang yang ditakdirkan menjadi pemimpin. "Emang udah dari sononya tuh sifatnya gitu," kata beberapa orang temen gue. Dari sini terkesan orang-orang di dunia ini di desain jadi dua jenis : pemimpin dan yang dipimpin. Gue sih dengernya malah serem. Kesannya berarti orang-orang yang dibilang punya "bakat" memimpin terkesan kayak chosen one. Terpilih. Padahal gue yakin bahwa semua orang adalah pemimpin, setidaknya bagi dirinya sendiri. Jadi gue sempet nggak setuju sama ide yang mengatakan bahwa memang ada orang yang mempunyai bakat memimpin. Lagipula kalau dipikir lagi, aneh kan ada orang yang bakatnya kasih perintah ke orang lain, terus udah dari sananya banyak yang segan, haha.. Seenggaknya cukup aneh sih di telinga gue. Tapi kepercayaan gue soal hal ini menimbulkan pertanyaan baru. Kalau emang gue yakin semua orang memiliki bakat pemimpin, terus kenapa ada pemimpin yang bagus, ditaati, dan dihormati anggotanya sedangkan ada juga pemimpin yang dibenci bahkan tidak dihormati anggotanya. Berarti apakah Cuma gaya kepemimpinannya saja yang kurang baik atau kah memang bakat pemimpin itu ada?? Tapi terlepas dari pertanyaan gue tadi, gue pegang bahwa prinsip pertama yang harus dimiliki orang yang berniat jadi pemimpin itu adalah yakin bahwa dirinya pemimpin dan bisa memimpin orang lain. Simpelnya, percaya diri sebagai pemimpin itu wajib ada.

Kalau gue flashback ke zaman sekolah dulu, setiap kali ada pemilihan ketua kelas, ketua organinsasi, perwakilan siswa, dll nama gue selalu muncul, dengan atau tanpa persetujuan gue. Ketika gue tanya ke temen-temen gue, dia Cuma bilang, "habisnya elu ada tampang ketua sih" atau "gue sih mikirnya emang lu yang jadi ketuanya" atau "nggak apa-apa kali. Emang cocok di lu." Emangnya tampangnya pemimpin gimana sih? Hahaha.. Sebenernya sih gue juga nggak terlalu mempermasalahkan. Toh gue juga menikmati ketika gue jadi pemimpin. Bukan maksudnya gue haus jabatan ya? Tapi lebih gimana serunya lu bisa membuat orang-orang yang punya tujuan yang sama dengan diri lu bisa bekerja bersama. Tapi setelah ini gue malah dapet pikiran. Gue mikir gimana kalau tadinya ada temen gue yang lain yang juga berminat jadi ketua/pemimpin tapi karena gue lebih populer jadinya dia nggak dapet kesempatan dan dukungan temen-temen. Dan percaya atau enggak, hal ini sering banget terjadi. Dari sini gue punya prinsip lagi bahwa seorang pemimpin harus tau kapan dia harus memimpin dan kapan harus dipimpin. Intinya ketika lu punya posisi yang baik untuk mengisi suatu jabatan, lu harus tanya lagi ke diri lu sendiri dan coba mengukur kemampuan dan kompabilitas diri lu terhadap jabatan yang bakal lu ambil. Bisa gue ambil contoh soal prinsip ini pada rapat kegiatan malam keakraban jurusan gue setahun yang lalu. Ada dua orang yang di calonkan jadi ketua panitia. Gue dan satu orang temen gue yang lain. Ketika pemilihan berlangsung, suara gue memimpin. Tapi gue putuskan untuk temen gue itu yang jadi ketua panitia karena gue tau dia lebih bisa friendly ke temen-temen satu angkatan daripada gue. Gue sendiri lebih memilih untuk masuk ke seksi acara untuk support dan handle seluruh acara di malam keakraban. Disini yang jadi pertimbangan gue adalah mengerjakan acara penting yang membutuhkan kekompakkan panitia peran ketua menjadi sentral. Bukan berarti gue tidak bisa menjaga kekompakkan tim. Tapi gue sadar bahwa temen gue tersebut bisa menjadi 'perekat tim' yang lebih baik dari gue. Intinya ketika lu menjadi seorang yang dilihat sebagai pemimpin/leader/acuan, lu juga harus tau kapabilitas diri lu sendiri. Walaupun lu dapat dukungan penuh, bukan berarti lu harus jadi pemimpin yang nggak kenal situasi :)

Satu lagi yang sempet bikin kepikiran cukup lama, adalah soal cara mendapatkan jabatan. Ini juga soal kredibilitas dan integritas sebagai seorang leader/pemimpin bagi diri lu dan orang lain. Coba lu pahami situasi berikut:
"ketika ada satu orang yang bisa dikatakan sangat 'berbakat' sebagai seorang pemimpin. Hampir seluruh kriteria pemimpin ada pada dirinya. Ketika diadakan pemilihan ketua suatu organisasi, si orang berbakat ini berbohong untuk salah satu syarat pencalonan dirinya. Ketika pemilihan berlangsung, jelas si orang berbakat ini yang menang karena semua orang sudah tau kualitas dirinya sebagai seorang pemimpin. Hampir seluruh suara memilih dirinya. Bukan berarti kandidat yang lain kurang baik, namun orang lain melihatnya si orang berbakat ini yang cocok memegang jabatan ketua tersebut."
Nah pertanyaannya sekarang apakah tindakan berbohong si orang 'berbakat' ini bisa dibenarkan? Karena melihat tujuannya yang untuk kebaikan orang banyak. Toh dia juga memang bekerja dengan baik selama menjabat dan tidak menyalahgunakan jabatan. Yuk tukar pendapat soal ini, silahkan tinggalkan komentar menurut diri lu sendiri soal ini.

Hal yang sama pernah terjadi di gue. Dua tahun lalu gue dicalonkan sebagai kepala nasional salah satu bidang di musyawarah nasional organisasi  jurusan (teknik kimia) se-indonesia. Gue dicalonkan pada saat itu dan gue melihat kans untuk gue di jabatan itu cukup besar melihat besarnya dukungan untuk gue. Nah sebagai salah satu syarat kepala nasional, diwajibkan telah mengikuti kegiatan organisasi tingkat daerah dan nasional setidaknya satu kali. Gue yang pada saat itu baru bergabung otomatis belum pernah mengikuti kegiatan daerah, karena sayangnya di daerah gue publikasi soal organisasi ini terbilang sangat kurang. Saat itu gue konsultasi ke pimpinan daerah gue soal hal ini. Banyak yang menyarankan gue untuk mengatakan 'sudah pernah' walaupun sudah gue jelaskan bahwa gue belum pernah mengikuti karena memang selama yang gue tau kegiatan daerahnya sempat vakum. Namun pada akhirnya, gue tetap mengatakan bahwa gue belum pernah mengikuti kegiatan daerah dan baru sekali mengikuti kegiatan nasional sehingga pencalonan gue dinyatakan gugur dan gue disambut oleh suara kecewa dari pada anggota sidang. Sebenernya jujur gue sempet sedih denger mereka kecewa gitu, tapi gue katakan ke diri gue sendiri, nggak ada kepemimpinan yang baik kalau awalnya aja udah tidak jujur. Selesai sidang, ketika kita sudah berjalan menuju penginapan, banyak temen-temen dari daerah lain yang bilang ke gue, "harusnya tadi bilang iya aja" dan "kenapa tadi gak bilang iya aja, Di?" juga "sayang banget yang tadi. Harusnya bilang sudah aja tadi." sampai sini gue jadi merasa bersalah. Di satu sisi gue gak mau jabatan gue dilandasi dengan ketidakjujuran tapi di satu sisi gue juga sedih kalau mengecewakan orang banyak terlebih temen-temen gue yang memang mendukung gue. Sampai sekarang juga gue masih mikir yang mana yang harusnya gue pilih saat itu.

Sampai hari ini, gue yakin bahwa setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin punya prinsipnya masing-masing. Terlepas baik atau buruknya, gue nggak bisa berkata banyak selama masih ada orang lain yang merasakan kebaikan dari kepemimpinannya. Jadi terlepas kita bakal memimpin diri sendiri maupun orang lain, tetep harus punya pegangan kan? Logikanya ketika memimpin diri sendiri kita sudah memiliki potensi keburukan bagaimana dengan memimpin orang lain. Semoga pilihan gue yang tetap memilih mendapatkan jabatan pemimpin dengan baik bisa berakhir dengan baik juga. Thanks for reading and have a good day everyone! Cheers!

Comments