Split.
2017 has been a
rough ride so far. I started this year with a really hard beginning. Awal tahun
2017 boleh jadi permulaan tahun yang terberat di kehidupan gue. A lot of things
happened. Banyak yang sudah terjadi dalam kurun waktu 4 bulan ini. I lost my mother
(may she is rest in peace and heaven waiting for her), work pace at the office
is kind of all over the place, and my relationship with someone close to me is
hanging by a thread. Yet here I am, still standing. Broken but not lose. Crying
but not by the weak of heart.
Brokenhearted. (image by Google) |
Kali ini gue ingin
ngomong soal perpisahan. Split. Banyak orang disekitar gue yang masih terlalu
takut akan perpisahan. Padahal boleh jadi perpisahan adalah hal yang memang
dibutuhkan. Wajib. Necessary. Banyak yang masih menganggap perpisahan adalah
akhir dari segalanya. Seakan akan kata 'berpisah' berarti 'kiamat'. Walaupun
memang sebagian dari perpisahan berarti tidak akan bertemu kembali, tetapi
sebenarnya masih banyak hal yang bisa dilakukan setelah perpisahan. Karena
menurut gue, perpisahan bukanlah memutus hubungan dari hal yang kita
tinggalkan, melainkan tidak lebih dari mengubah bentuk hubungan antara kedua
belah pihak. We will still interact or connect to that person/thing someway,
somehow.
Pada bulan Januari
2017, my mother passed away at home. Gue kehilangan sosok satu-satunya ibu,
sandaran hati, tempat keluh kesah paling mujarab, lawan ngomel, koki yang
masakannya paling enak sedunia, yang pelukannya paling hangat, yang suaranya
paling menenangkan, yang amarahnya paling menakutkan, yang senyumnya paling
membahagiakan, yang keberadaannya menjadi arti keberadaan gue di dunia ini. I
lost my sun. Sampai hari ini kehilangan beliau di hidup gue masih menyisakan
ruang kosong yang tidak akan pernah terisi lagi oleh siapapun. Kehilangan mamah
menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi keluarga gue. Karena mamah adalah
matahari kami. She is our sun and our lives revolves around her. Hidup kami
berputar di sekelilingnya. Beliau adalah pusat dari hidup kami. Kehilangan
mamah secara tiba-tiba benar-benar mengguncang gue personally. Gue sempat
merasa lifeless. Kosong. Tanpa arah. Merasa keberadaan gue sudah tidak ada
artinya lagi karena beliau sudah tidak ada. And I tell you, it is not easy at
all.
Tidak mudah untuk
menerima kematian seseorang yang penting di hidup lu. It is never easy. Salah satu
bagian sulitnya adalah ketika gue harus tabah ketika yang gue inginkan adalah
kecewa. Sulit ketika gue harus sabar ketika yang gue inginkan hanya menangis sekeras-kerasnya.
Sulit ketika gue harus jadi seseorang yang kuat disaat gue butuh seseorang
untuk bersandar. Sulit ketika gue harus sendiri ketika gue ingin bersama
seseorang yang dekat.
Dari sini gue mulai
tersadar, bahwa terlepas dari seberapa pun dekat dan sayangnya kita terhadap
seseorang atau sesuatu, perpisahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. It
is unavoidable. Eventually, we will part our ways. Through death or another.
Gue sadar bahwa terlepas dari seberapa butuhnya diri gue atas dukungan orang
lain, pada akhirnya gue harus melewati semuanya sendiri. I just realize that
now. Sudah banyak orang-orang di sekitar gue yang pada akhirnya mengecewakan
kepercayaan yang gue berikan kepada mereka. Walaupun sebenarnya mungkin lebih
karena mereka sudah lelah mengikuti ekspektasi gue atas sebuah hubungan yang
dibangun antara kami. Saat ini, gue sudah memutuskan untuk berhenti berharap
kepada orang lain. Saatnya gue berjalan sendiri.
Another split moment in my life happened not long after mom passed away, sesuatu terjadi pada hubungan gue dengan seseorang
yang paling dekat. Dia adalah orang yang paling dekat, yang mengerti gue, yang
tahu apa yang gue pikirkan, yang mengerti diri gue. We went into some arguments fight.
I got mad. We stop talking. Sampai pada saat gue menulis cerita ini, hati gue
masih bergetar saat membayangkan seperti apa jadinya ketika kami sudah
benar-benar menjadi orang asing bagi satu sama lain. Inside my heart, I knew
that if I lose this relationship, I will never trust people again. I knew that i don't want to lose you.
Kadang ketika emosi
menguasai, hal yang terkecil pun akan jadi masalah terbesar yang bisa fatal
akibatnya. Sekarang bahkan gue tidak bisa menjustifikasi kemarahan gue kepada
dia pada saat itu. Kemarahan yang gue rasakan ketika orang yang paling dekat
tiba-tiba memulai hubungan baru dengan seseorang. Hubungan yang lebih dari apa
yang gue dan dia punya selama ini. Kemarahan ketika kami nantinya hanya
akan menjadi seseorang yang hanya mengenal nama dan tidak mengenal kehidupan
satu sama lain lagi. Kemarahan ketika gue pada akhirnya hanya akan menjadi
"flight attendant" bukan lagi "co-pilot" dalam pesawat yang kami
rakit bersama. Kemarahan ketika teman terbaikmu mulai memiliki pasangan.
Kemarahan ketika lu tahu waktu yang sebelumnya selalu kalian habiskan bersama
akan hilang berganti dengan sebaris pesan singkat, "Maaf. Hari ini aku ada
janji dengan si dia."
Mungkin seharusnya
gue minta maaf karena sudah bersikap kekanak-kanakan. Namun, kemarahan yang gue
rasakan semata-mata hanya karena gue percaya bahwa pilihan hati si teman ini
tidak tepat dengan berbagai alasan yang terlalu panjang untuk dijelaskan. She don't
deserve him neither does he. Gue marah karena sosok yang selama ini gue kagumi
atas kemandiriannya, atas pikirannya yang lurus, atas tekadnya yang kuat atas
sesuatu bisa berubah dalam hitungan hari hanya demi 'pilihan hati'. Sosok yang
gue percayai bisa berjalan bersama gue untuk waktu yang sangat lama. Gue marah
karena hanya demi hati, dia berubah menjadi sosok yang lembek, menyedihkan,
yang berpikir tidak menggunakan akal. Gue marah karena dia sudah menghilangkan
sosok yang selama ini gue pandang dari dirinya. Gue marah mengapa begitu sulit baginya
untuk kembali menjadi dirinya yang dulu. Sosok yang kuat. Independen. Walaupun pada
akhirnya, perasaan gue benar. They will never be together. He is broken after that.
Sekarang dia jadi sosok yang tidak lagi gue kenal. But the most of all, I hate
that I can't look him the same way. I hate that I can't see him as the same
person I knew before. Oh I wish I could see him as nothing happened. Hal paling buruknya, gue tahu bahwa si 'pilihan hati' ini hanya melenggang kangkung tanpa sadar atau bahkan simpati kalau kelakuannya hampir menghancurkan hidup seseorang.
Gue tahu, ini bukan
hak gue. Namun, ketika dua orang sudah sedekat ini, all I am trying to do is
protect him from any harm possible. That is what brothers do. Ketika hidupnya
sudah banyak berperan di hidup gue, keberadaannya menjadi penting di kehidupan gue.
Harusnya dia bisa merasakan bagaimana sedihnya jika melihat saudaranya sedih
namun tidak ada yang bisa dilakukan. Namun gue juga harusnya sadar, guru yang baik adalah
guru yang memperbolehkan muridnya untuk melakukan kesalahan dan belajar
darinya, bukan malah menghalanginya dari melakukan kesalahan. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Sedihnya, yang gue lakukan adalah sebaliknya. Gue terlalu fokus untuk menghindarkan dia dari kesedihan
sampai gue lupa adalah tugasnya untuk mencoba. to feel. to experience. I should have said sorry.
Pada akhirnya, yang
terjadi biarlah terjadi. Kalau pun dia sempat membaca tulisan ini, semoga dia
tahu bahwa gue mengerti apa yang dia lakukan. Gue mengerti yang dia lakukan
adalah hal yang harus dia lakukan untuk hidupnya. Itu adalah hidupnya, dan
merupakan hak dia untuk jatuh cinta dengan orang yang salah, kemudian patah
hati setelahnya. Gue hanyalah penonton yang bersorak di pinggir lapangan,
berkomentar sesekali terhadap kejadian yang berlaku. Apapun yang telah terjadi,
I should have said sorry. The least. Sekarang gue sudah siap apapun yang
terjadi. Gue siap untuk kembali menjadi orang asing di kehidupannya. Gue siap jika dia berhenti menganggap gue sebagai teman terbaiknya. Gue sudah siap
untuk kembali sendiri.
Begitulah hidup.
It's a split every now and then. Jangan lupa bahwa hidup kita dimulai dari sebuah sel
yang satu, kemudian memisah menjadi dua, memisah kembali menjadi empat,
kemudian delapan, enam belas, dan seterusnya. Perpisahan tidak selamanya
merusak hidup kita. Perpisahan tidak selamanya merugikan. Karena kita harus
menyadari bahwa dengan perpisahan kita bisa menghargai arti pertemuan. Dengan
perpisahan kita bisa mulai menghargai waktu dan kesempatan yang ada. Dengan perpisahan kita
bisa menyadari bahwa tidak ada yang abadi. Sebagaimana inti sel kita yang terus
memisahkan diri hingga akhirnya bisa membentuk sebuah organisme kompleks,
harusnya sekarang kita bisa mengerti semakin banyak perpisahan yang kita alami
dalam kehidupan kita, itu tidak akan merusak diri kita, malahan harusnya
perpisahan itu bisa membawa hidup kita ke dalam tahap yang lebih kompleks lagi,
lebih kuat, lebih hebat, lebih sempurna.
Have a good day
everyone!
Udah lama sekali ga baca tulisan mu, Al. :)
ReplyDeleteTetap semangat, tetap menginspirasi ya.
Have a good day..
Haii Gadis!! Iya.. CaharCane mohon maaf ya sempet vakum lumayan lama, a lot happened. Tapi semoga mulai saat ini CaharCane bisa terus konsisten memberikan tulisan tulisan yang menarik!
DeleteTerima kasih kak Gadis sudah terus membaca dan mendukung CaharCane sejak dulu :)) #hug
Have a good day to you, Kak!